KETUA MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA
PERATURAN MAHKAMAH AGUNG
REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 1 TAHUN 2014
TENTANG
PEDOMAN PEMBERIAN LAYANAN HUKUM
BAGI MASYARAKAT TIDAK MAMPU DI PENGADILAN
Ruang lingkup layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu di pengadilan yang diatur di Perma 1/2014 terdiri dari layanan pembebasan biaya perkara, penyelenggaraan sidang di luar gedung pengadilan dan penyediaan posbakum pengadilan.
Ini tidak berbeda jauh dengan ruang lingkup layanan bantuan hukum di pengadilan menurut SEMA 10/2010. Pada SEMA yang ditetapkan pada 30 Agustus 2010 itu, bantuan hukum meliputi layanan perkara prodeo, penyelenggaraan sidang keliling dan penyediaan posbakum.
Meski dari segi ruang lingkup bantuan hukum tidak berbeda jauh, dua produk hukum MA itu memiliki sejumlah perbedaan.
Daya ikat SEMA pada dasarnya lebih ke internal MA dan badan peradilan di bawahnya. Itu berbeda dengan Perma yang juga mengikat pihak-pihak lain yang berhubungan dengan MA dan badan peradilan di bawahnya. Menurut Henry P Panggabean, SEMA merupakan edaran pimpinan MA ke seluruh jajaran peradilan yang berisi bimbingan dalam penyelenggaraan peradilan yang lebih bersifat administrasi, sedangkan Perma adalah bentuk peraturan yang berisi ketentuan yang lebih bersifat hukum acara.
Perbedaan lainnya, pengaturan mengenai bantuan hukum di SEMA 10/2010 dibedakan per lingkungan peradilan. Tata cara dan mekanisme pemberian bantuan hukum di peradilan umum diatur dalam Lampiran A dan Tata cara dan mekanisme pemberian bantuan hukum di peradilan agama diatur dalam Lampiran B. Adapun tata cara dan mekanisme pemberian bantuan hukum di peradilan tata usaha negara disesuaikan dengan ketentuan yang ada di Lampiran A.
Sementara itu, pengaturan mengenai layanan hukum bagi masyarakat tidak mampu di Perma 1/2014 tidak dipilah berdasarkan lingkungan peradilan. Baik peradilan umum, peradilan agama maupun peradilan tata usaha negara menggunakan peraturan yang sama.
Prosedurnya lebih mudah
Digantinya SEMA 10/2010 dengan Perma 1/2014 membawa perubahan yang cukup signifikan dalam sejumlah hal. Misalnya dalam hal mekanisme pemberian layanan pembebasan biaya perkara atau bisa disebut dengan perkara prodeo.
Mengacu kepada SEMA 10/2010, masyarakat yang ingin berperkara secara prodeo pertama-tama harus mendapatkan Surat Keterangan Tidak Mampu (SKTM) dari kepala desa, lurah, atau pejabat yang setingkat dengan itu. Masyarakat juga bisa membawa Kartu Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) atau sejenisnya sebagai bukti bahwa yang bersangkutan tidak mampu membayar biaya perkara.
Berikutnya, dokumen itu diajukan bersama-sama dengan pengajuan surat gugatan/permohonan di pengadilan saat mendaftarkan perkara. Setelah itu, majelis hakim yang menangani perkara tersebut membuat putusan sela untuk memutuskan apakah permohonan berperkara secara prodeo itu dikabulkan atau tidak.
Jika permohonan itu dikabulkan, maka proses berperkara secara prodeo dilanjutkan hingga perkara diputus. Namun jika jika permohonan itu tidak dikabulkan, maka penggugat/pemohon diperintahkan membayar panjar biaya perkara dalam jangka waktu 14 hari setelah dijatuhkannya putusan sela. Bila tidak dipenuhi, gugatan/permohonan tersebut akan dircoret dari daftar perkara.
Sementara itu, mengacu kepada Perma 1/2014, mekanisme pembebasan biaya perkara lebih sederhana. Masyarakat yang ingin berperkara secara cuma-cuma tetap diharuskan membawa SKTM atau Jamksesmas atau dokumen lain untuk membuktikan bahwa yang bersangkutan tidak mampu membayar biaya perkara, lalu mendaftarkan gugatan/permohonannya ke pengadilan. Tapi ia tidak harus terlebih dahulu mengikuti sidang dan menunggu putusan sela untuk mengetahui apakah permohonannya untuk mendapatkan pembebasan biaya perkara dikabulkan atau tidak.
Permohonan pembebasan biaya perkara itu diajukan kepada ketua pengadilan melalui kepaniteraan. Panitera/sekretaris lantas memeriksa kelayakan pembebasan biaya perkara dan ketersediaan anggaran. Hasil pemeriksaan panitera/sekretaris itu diserahkan kepada ketua pengadilan sebagai bahan pertimbangan untuk memutuskan apakah permohonan pembebasan biaya perkara itu dikabulkan atau ditolak. Jika permohonan itu dikabulkan, ketua pengadilan mengeluarkan Surat Penetapan Layanan Pembebasan Biaya Perkara. Namun jika permohonan itu ditolak, maka proses berperkara dilakukan seperti biasa.