IMPLEMENTASI PERMA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENANGANAN PEREMPUAN BERHADAPAN DENGAN HUKUM DI MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH
Oleh:
Abdul Azis, S.Sy
Hakim Pengadilan Agama Kotabumi (Selama calon hakim magang di MS Banda Aceh)
- PENDAHULUAN
Menyeruaknya isu mengenai ketidaksetaraan gender di berbagai belahan dunia termasuk di Indonesia bukanlah merupakan sesuatu hal yang baru. Di dalam lingkungan masyarakat, sejatinya kaum wanita mempunyai kedudukan dan peran yang tidak kalah pentingnya dengan pria pada umumnya. Namun, seiring berjalannya waktu peranan ini mengalami dinamika yang berkembang sesuai dengan perkembangan dan perubahan masyarakat. Dalam perkembangan kehidupan manusia, peranan wanita tidak selamanya dapat berjalan sebagaimana mestinya, banyak hambatan yang dipengaruhi banyak aspek baik meliputi kultural, hukum, politik, ekonomi, dan sosial.
Apalagi setiap warga negara bersamaan kedudukannya di hadapan hukum. Demikian salah satu inti dari UUD 1945 yang menekankan kewajiban lembaga peradilan untuk memberikan perlakuan dan akses yang setara keada setiap warga negara untuk memperoleh keadilan. Persamaan kedudukan di muka hukum dapat dimaknai sebagai keadaan dimana setiap warga negara memiliki hak, akses dan kesempatan yang sama dalam memperjuangkan hak-haknya di muka hukum.[1] Tentu dalam hal ini termasuk juga kaum wanita yang merupakan bagian dari warga negara tersebut.
Oleh karena itu, Indonesia sebagai suatu negara hukum berdasarkan Pancasila, mempunyai kewajiban untuk memberikan keadilan gender dan perlindungan terhadap perempuan. Sebagai wujud perlindungan tersebut, di Indonesia telah di undangkan beberapa undang-undang yang terkait dengan upaya memberikan keadilan dan perlindungan terhadap perempuan, yaitu Undang-undang Tentang HAM, Undang-Undang Tentang Kekerasan Dalam Rumah Tangga, Undang-Undang Tentang Anti Pornografi dan Porno Aksi. Bahkan, sebagai penguatan dalam aspek hukum, pemerintah dalam hal ini diwakili Mahkamah Agung telah menerbitkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 tentang pedoman mengadili perkara perempuan berhadapan dengan hukum, tujuannya tidak lain adalah untuk menjamin hak perempuan terhadap akses yang setara dalam memperoleh keadilan.
Namun demikian, tentu dalam prosesnya sejak saat peraturan itu diterbitkan hingga kini tidak menutup kemungkinan adanya kesulitan mapun halangan dalam penerapannya. Sehingga mesti kiranya ada penelusuran lebih lanjut mengenai pelaksanaan peraturan tersebut dalam lingkup yang lebih nyata. Misalnya dalam hal ini, perlu ada penelitian secara sederhana namun serius untuk memastikan apakah dalam prosesnya peraturan mahkamah agung tersebut dijalankan dengan efektif serta tepat sasaran atau tidak.
Maka dari uraian tersebut di atas menarik bagi kami untuk membuat sebuah tulisan dengan bentuk makalah dengan judul: IMPLEMENTASI PERMA NOMOR 3 TAHUN 2017 TENTANG PEDOMAN PENANGANAN PEREMPUAN BERHADAPAN DENGAN HUKUM DI MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH
Penulisan makalah ini bersumber pada penelitian pustaka dan berdasarkan pengalaman reportase di beberapa persidangan ketika penulis bertugas menjadi asisten hakim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.
II.PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang ma salah yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah yang dapat diajukan adalah:
- Bagaimana efektivitas penerapan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh?
- Bagaimana proses pemeriksaan dan penanganan perempuan berhadapan dengan hukum di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh?
III.PEMBAHASAN
- Pengertian Perempuan Berhadapan Dengan Hukum
Menurut Pasal 1 PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara bahwa Perempuan Berhadapan dengan Hukum adalah perempuan yang berkonflik dengan hukum, perempuan sebagai korban, perempuan sebagai saksi atau perempuan sebagai pihak.[2]
Perlindungan terhadap warga negara dari segala tindakan diskriminasi merupakan implementasi dari hak konstitusional sebagaimana tertuang dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, bahwa Indonesia telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Right/ICCPR) dengan Undang- Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Rights (Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik) yang menegaskan bahwa semua orang adalah sama di hadapan hukum dan peraturan perundang-undangan melarang diskriminasi serta menjamin perlindungan yang setara bagi semua orang dari diskriminasi berdasarkan alasan apapun, termasuk jenis kelamin atau gender, bahwa Indonesia sebagai negara pihak dalam Konvensi Penghapusan Segala Bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan (Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination Against Women/CEDAW) mengakui kewajiban negara untuk memastikan bahwa perempuan memiliki akses terhadap keadilan dan bebas dari diskriminasi dalam sistem peradilan.[3]
Upaya perlindungan hukum terhadap perempuan hendaknya memiliki derajat/tingkat yang sama dengan perlindungan terhadap pria, karena setiap orang memiliki kedudukan yang sama di depan hukum (equality before the law). Indonesia sebagai suatu negara hukum, negara harus mengakui dan melindungi HAM setiap individu tanpa membedakan jenis kelamin, kedudukan, dan latar belakangnya, sehingga semua orang memiliki hak untuk diperlakukan sama dan menempatkan kedudukan bagi setiap orang tanpa terkecuali pada posisi yang sama dihadapan hukum. Hal ini sebagaimana diatur dalam Pasal 28D ayat (1) UUD 1945 yang mengatur bahwa setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan dan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum. Dengan asumsi yang demikian maka segala tindakan diskriminasi (terutama terhadap perempuan) sangatlah dilarang.
Yang dimaksud dengan diskriminasi terhadap wanita adalah setiap perbedaan, pengucilan, atau pembatasan yang dibuat atas dasar jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan pengakuan, penikmatan atau penggunaan hak-hak asasi manusia dan kebebasan-kebebasan pokok di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil atau apapun lainnya oleh kaum wanita, terlepas dari status perkawinan mereka, atas dasar persamaan antara pria dan wanita.[4]
- B.Hak-Hak Perempuan Berhadapan dengan Hukum
Dalam ketentuan Pasal 28 I ayat (2) UUD 1945 telah memberikan perlindungan secara konstitusional bahwa kaum wanita warga negara Indonesia harus terbebas dari perlakuan atau tindakan diskriminasi terutama sebagai akibat sifat kodratinya yang cenderung lemah daripada kaum pria. Sebagaimana diketahui bahwa untuk kepentingan tersebut negara kita telah meratifikasi Kovenan Internasional tentang Hak-Hak Sipil dan Politik (International Covenant on Civil and Political Right/ICCPR) dengan UU Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan International Covenant on Civil and Political Right, yang menegaskan bahwa semua orang (lelaki atau perempuan) adalah sama di hadapan hukum, dan peraturan perundang-undangan melarang adanya diskriminasi serta menjamin perlindungan yang setara antara kaum pria dan kaum wanita dari diskriminasi berdasarkan alasan apapun termasuk jenis kelamin atau gender. Bahkan untuk memastikan kepada dunia akan kewajiban negara yang memastikan bahwa kaum perempuan memiliki akses terhadap keadilan.
Oleh karenanya, dalam kapasitas wanita sebagai warga negara tidak ada perbedaan antara laki-laki dan perempuan termasuk dalam hak-hak yang harus diperoleh. Ada beberapa hak yang mutlak diperuntukan bagi perempuan yang berkaitan dengan akses untuk mendapatkan keadilan ketika perempuan berahadapan dengan hukum di antaranya dalah sebagai berikut:
- Hak memperoleh perlindungan atas keamanan pribadi, keluarga dan harta bendanya serta bebas dari ancaman yang berkaitan dengan kesaksian yang akan, sedang atau telah diberikan
- Hak memberikan keterangan tanpa tekanan
- Hak bebas dari pertanyaan yang menjerat
- Hak mendapatkan informasi mengenai perkembangan kasus dan putusan pengadilan
- Hak mendapatkan pendamping
- Hak dirahasiakan identitasnya
- Hak mendapatkan nasehat hukum
- Hak mendapatkan penerjemah
- Hak mendapatkan restitusi
- Hak atas pemulihan[5]
- C.Sejarah Lahirnya Perma Nomor 3 Tahun 2017
Meskipun Indonesia telah mengesahkan beberapa undang-undang untuk menghindari tindakan diskriminasi terhadap perempuan. Namun dalam praktiknya hal-hal tersebut (diskriminasi) masih marak terjadi khususnya ketika proses pemeriksaan di pengadilan. Dalam penelitian yang dilakukan oleh MAPPI FHUI yang berkolaborasi dengan LBH Apik Jakarta mengenai penanganan perkara pidana perempuan melalui ratusan putusan pengadilan, wawancara, hingga focus group discussion (FGD). Hasilnya ditemukan adanya ketidakadilan dalam penanganan perkara terhadap perempuan yang berhadapan dengan hukum. Ketidakadilan tersbeut mulai dari stereotip gender hingga perlakuan diskriminatif.[6]
Karena hal-hal tersebut Mahkamah Agung melahirkan Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.Hukum merupakan sebuah terobosan. Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) yang menyatakan pembentukan perma ini sebagai sebuah terobosan sangat mengapresiasi terbentuknya perma ini. Materi-materi yang diatur dalam perma ini belum pernah terakomodir dalam peraturan perundangan-undangan yang ada, khususnya Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Meskipun perma ini secara lebih luas mengatur tentang pedoman hakim dalam mengadili perkara, baik pidana maupun perdata yang melibatkan perempuan, keberadaannya sangat diperlukan terutama dalam peradilan agama dan perempuan-perempuan yang berhadapan dengan hukum.
Dengan cukup akomodatif, ICJR memandang Perma Nomor 3 ini hadir memberikan definisi relasi kuasa itu sendiri dan memberikan pedoman bagi hakim untuk mengkaji relasi kuasa pada saat mengadili perkara yang melibatkan perempuan. Adanya perma ini menurut ICJR juga dapat dijadikan momentum yang baik bagi lahirnya putusan-putusan yang progresif dalam hal mengakomodasi hak-hak korban, khususnya perempuan serta mengantisipasi penafsiran rumusan-rumusan tindak pidana yang justru merugikan korban.
Perma ini juga dapat dijadikan sebagai momentum baik bagi lahirnya putusan-putusan yang progresif dalam mengakomodir hak-hak korban khususnya perempuan. Peraturan Mahkamah Agung RI Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum juga menjadi berkah bagi anak-anak korban perceraian, karena Perma tersebut bukan saja ditujukan kepada kaum perempuan, tetapi juga terhadap anak-anaknya yang secara yuridis dan sosiologis lebih banyak berdekatan dengan kaum perempuan.
- D.Pemeriksaan Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum Di Mahkamah Syar’iyah banda Aceh
Dalam praktiknya penanganan perempuan berhadapan dengan hukum di Mahkamah Syar'iyah Banda Aceh sudahlah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Perma Nomor 3 tahun 2017 dimana dalam setiap perkara yang terdapat pihak perempuan bersengketa, maka majelis hakim akan menerapkan asas-asas yang bersesuaian mulai dari memperlakukan perempuan sama di depan hukum, kesetaraan gender, serta mengedepankan adanya keadilan, kemanfaatan, dan kepastian hukum tanpa adanya diskriminasi. Dalam kasus yang nyata, di Mahkamah Syar'iyah yang notabene mengadili perkara perdata tak jarang ditemui pihak perempuan yang mengajukan kasus gugatan cerai.
Menyikapi hal ini, majelis hakim yang menangani tentu tak semena-mena dalam memeriksa dan mengadili perkara tersebut meskipun dalam hal ini pihak yang mengajukan gugatan adalah perempuan. Dalam pemeriksaan perkara, hakim senantiasa mempertimbangkan adanya kesetaraan gender dan non-diskriminasi, dengan mengidentifikasi fakta persidangan. Tak hanya itu dalam praktiknya, majelis hakim yang menangani perempuan berhadapan dengan hukum tidak akan menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan dan mengintimidasi perempuan. Mengingat hal tersebut tentu bertentangan dengan etika hakim yang mengedepankan keadilan untuk semua pihak.
Sementara itu, dalam konteks penanganan perempuan berhadapan dengan hukum dalam perkara Pidana atau Jinayat di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, tentu Majelis Hakim juga akan memperhatikan dampak psikis yang dialami korban, ketidakberdayaan fisik dan psikis korban, relasi kuasa yang mengakibatkan korban atau saksi tidak berdaya dan riwayat kekerasan dari pelaku terhadap korban atau saksi. Selain itu, hakim juga tidak akan pernah menunjukkan sikap atau mengeluarkan pernyataan yang merendahkan, menyalahkan dan/atau mengintimidasi Perempuan Berhadapan dengan Hukum. Begitu juga hakim dalam proses pemeriksaan tidak akan mengeluarkan pernyataan atau pendangan yang mengandung sterotip gender. Justru sebaliknya, hakim akan bersipat objektif dan mengedepankan asas persamaan di depan hukum. Bahkan hakim tidak akan sungkan untuk memberikan penawaran sekaligus saran pendampingan apabila Perempuan Berhadapan dengan Hukum mengalami hambatan fisik dan psikis.
Bahkan untuk mewujudkan keadilan yang menyeluruh dan Hakim tak segan untuk menjalankan perinta peraturan perundang-undangan mengenai adanya adanya tuntutan hak restitusi, kompensasi, ganti rugi dan bantuan perempuan berhadapan dengan hukum (korban) atas perlakuan pidana yang telah dialami oleh perempuan berhadapan dengan hukum.
Selain itu, tak menutup kemungkinan jika di kemudian hari di Mahkamah Syar’iyah terdapat perkara jinayat dimana korbannya adalah perempuan disabilitas. Mengingat, sejauh ini perempuan disabilitas sangat rentan menjadi korban kekerasan. Bentuk kekerasan yang sering dialami yaitu kekerasan fisik, kekerasan psikologis, kekerasan seksual, kekerasan finansial dan kekerasan ganda. Berdasarkan riset SAPDA, ditemukan bahwa sebesar 65% perempuan disabilitas korban kekerasan yang menjadi responden dalam riset ini memilih tidak melakukan apapun atas kekerasan yang dialaminya, 13.3% diam, 18.7% melawan dan mengkomunikasikannya dengan pasangan, dan 3% tidak mengetahui bahwa dirinya mendapatkan kekerasan. Berbagai tantangan dihadapi dalam penyelesaian kasus kekerasan yang menimpa perempuan disabilitas antara lain:
- Sulit untuk mengungkap kasus dan seringkali tidak tuntas penyelesaiannya. Hal ini terjadi terutama jika penyandang disabilitas ganda sebagai korban (misalnya disabilitas intelektual sekaligus tuli) yang tidak ditangani secara khusus.
- APH meragukan posisi penyandang disabilitas sebagai korban karena emosi datar atau bahkan tertawa dan tersenyum. Penyandang disabilitas, apalagi disabilitas intelektual, ketika menjadi korban kekerasan (seksual) cenderung tidak memahami perbuatan pelaku dan dampak dari perbuatan tersebut.[7]
Oleh karenanya, Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh akan terus membenahi dan mengeavaluasi lagi terkait dengan penerapan Perma 3 tahun 2017 tersebut. Banyak hal yang perlu dilengkapi mengenai pemahaman hukum acara dalam menghadapi perempuan berhadapan dengan hukum. Begitu pula terkait dengan sarana dan prasarana yang menunjang untuk terlaksananya efektivitas penerapan Perma tersebut.
- IV. PENUTUP
- A.Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, antara lain adalah sebagai berikut:
- Dalam hal implementasi mengenai Perma Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perempuan Berhadapan dengan Hukum di Mahkamah Syar’iyan Banda Aceh sejauh ini sudah berjalan baik dan lancar. Bahkan, para Hakim yang bertugas mengadili dan memeriksa perempuan berhadapan dengan hukum semaksimal mungkin telah menjalankan sesuai dengan tugas dan fungsinya.
- Dalam hal proses pemeriksaan perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, hakim-hakim di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh sudah sesuai denga perunda-undangan yang berlaku yang berdasarkan pada asas penghargaan atas harkat dan martabat manusia, non diskriminasi, kesetaraan gender, persamaan di depan hukum, keadilan, kemanfaatan dan, kepastian hukum.
- B.Saran
Untuk meningkatkan optimalisasi implementasi Perma Nomor 3 Tahun 2017 di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh, setidaknya ada beberapa hal yang perlu dikembangkan dan mulai diaplikasikan oleh aparat petugas termasuk Hakim di Mahkamah Syariyah Banda Aceh, yang di antaranya adalah sebagai berikut:
- Perlunya peningkatan sarana dan prasarana yang menunjang terlaskananya pelayanan mengenai perempuan berhadapan dengan hukum baik dari sisi sumber daya manusianya maupun sarana penunjang mengenai adanya kerjasama dengan penerjemah untuk pelayanan perempuan disabilitas, serta hal-hal lain yang sekiranya dibutuhkan.
- Pentingnya tindak lanjut dari lahirnya PERMA Nomor 3 Tahun 2017 tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum dengan sosialisasi secara lebih meluas dan komprehensif serta berkelanjutan. Agar PERMA ini lebih implementatif guna meminimalisasi penanganan perkara oleh hakim yang tidak sensitif gender. Sehingga kehadiran PERMA ini tidak sekadar lip service bagi upaya perlindungan hukum terhadap perempuan.
Daftar Pustaka
- I.Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Peraturan Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum.
Indonesia, Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman
Indonesia, Undang-Undang Nomor Tentang Peradilan Agama Nomor 7 tahun 1989.
Indonesia, Undang-Undang Nomor Tentang Peradilan Agama Nomor 7 tahun 1989.
- II.Buku dan Lainnya
Abdurrahman, dkk. Hukum Acara Perdata Teori, Praktik, dan Permasalahannya di Peradilan Umum dan Peradilan Agama, UII PRESS, Yogyakarta: 2016.
Asnawi, M. Natsir.Hukum Acara Perdata Teori Praktik dan Permasalahannya di Peradilan Umum dan Peradilan Agama, UII Press, Yogyakarta: 2016
Astuti, Tri Handayani, Mewujudkan Keadilan Gender Melalui Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan, Jurnal Rechtstaat Nieuw Vol. 1 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Bojonegoro.
Bestha Inathan Asila, Artha Debora Silalahi, Buku Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, MAPPI FH UI, Depok: 2018’
http://www.Jogloabang.com, Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum Perma No 3 Tahun2017, Hal.1, Diakses pada tanggal 02 Desember 2019.
Manan, Abdul, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama, Prenada Media Group, Jakarta: 2006
Mursidah, Silmi, Analisis Maslahah Terhadap Perma Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, Skripsi UIN Sunan Ampel Surabaya: 2018
[1] M. Natsir Asnawi, Hukum Acara Perdata Teori, Praktik dan Permasalahannya di Peradilan Umum dan Peradilan Agama, UII Press, Yogyakarta, 2016, Halaman 30.
[2] Republik Indonesia, “Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum”, Pasal 1 Ayat 1
[3] www.Jogloabang.com, Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum Perma No 3 Tahun2017, Hal.1, Diakses pada tanggal 02 Desember 2019.
[4] Tri Astuti Handayani, Mewujudkan Keadilan Gender Melalui Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan, Jurnal Rechtstaat Nieuw Vol. 1 No. 1, Fakultas Hukum Universitas Bojonegoro, Halaman 26.
[5] Bestha Inathan Asila, Artha Debora Silalahi, Buku Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan dengan Hukum, MAPPI FH UI, Depok, 2018, Halaman 15.
[6] Silmi Mursidah, Analisis Maslahah Terhadap Perma Nomor 3 Tahun 2017 Tentang Pedoman Mengadili Perkara Perempuan Berhadapan Dengan Hukum, Skripsi UIN Sunan Ampel Surabaya: 2018. Halaman: 51.
[7] Dio Ashar, Bestha Inatsan Ashila, Gita Nadia Pramesa, Panduan Penanganan Perkara Penyandang Disabilitas Berhadapan Dengan Hukum, Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia Fakultas Hukum Universitas Indonesia (MaPPI FHUI), 2019, Halaman 39.