Oleh:
Abdul Azis, S.Sy
Calon hakim di MS Banda Aceh, sekarang hakim di Pengadilan Agama Kotabumi
I.PENDAHULUAN
Di era demokrasi seperti sekarang ini, informasi sudah menjadi kebutuhan utama bagi masyarakat tanpa pengecualian. Apalagi, di tengah gempuran teknologi yang semakin mutakhir, masyarakat dengan leluasa dapat mengakses berbagai informasi yang berseliweran di dalam maupun luar negeri. Di sisi lain, suka atau tidak bahwa informasi juga telah menjadi hak asasi bagi setiap warga negara. Berkaca pada Undang-Undang Dasar negara Republik Indonesia 1945 Pasal 28f dinyatakan bahwa Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan
lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia.[1] Keberadaan informasi dalam suatu instansi tentu tidak bisa dipandang sebelah mata. Apalagi, sebagai perwujudan konkret, negara menjamin semua masyarakat untuk dapat mengakses informasi. Ini sejatinya didasarkan kepada peraturan perundang-undangan yang mengatur pelaksanaan keterbukaan informasi di antaranya yaitu Undang – Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik dan Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2010 tentang Standar Layanan Informasi Publik. Kedua peraturan perundang-undangan tersebut setidaknya harus dijadikan pedoman pelayanan informasi oleh seluruh Badan Publik, termasuk di Instansi Pengadilan/Mahkamah Syar’iyah.
Sebagai sebuah instansi pemerintah yang mengedepankan prinsip pelayanan publik prima, Pengadilan tentu saja harus menjawab semua tantangan-tantangan perubahan zaman yang ada. Indikator yang tak kalah penting dari pelayanan publik adalah ketersediaannya informasi yang menyangkut dengan segala hal yang berkaitan dengan Pengadilan. Suka atau tidak, ini harus ada demi terciptanya pelayaanan publik yang bermuara pada kepuasan masyarakat terutaman dalam hal memperoleh informasi yang bermutu, akurat dan dapat dipertanggungjawabkan.
Tidak hanya berdasar pada Undang-undang keterbukaan infromasi publik, demi dan untuk mewujudkan pelaksanaan tugas dan pelayanan informasi yang efektif dan efisien serta sesuai dengan ketentuan dalam peraturan peraturan perundang-undangan tentu diperlukan juga pedoman pelayanan informasi yang sesuai dengan tugas, fungsi dan organisasi Pengadilan. Oleh karenanya Mahkamah Agung menetapkan pedoman pelayanan informasi yang sesuai dengan kebutuhan di lingkungan peradilan melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: 1-144/KMA/SK/2011 tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan sebagai pengganti Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: 144/KMA/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.
Berdasarkan SK KMA itu, ada dua hal penting yang menjadi perhatian khusus terkait dengan pasang surutnya kemajuan informasi di Pengadilan. Dua hal itu tidak lain adalah ketersediaan media dalam menyajikan informasi bagi masyarakat yang dilakukan secara langsung lewat media meja informasi atau yang dilakukan secara tidak langsung lewat website pengadilan yang dikelola khusus oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID). Dengan memperhatikan kedua media yang menjadi ujung tombaknya sebuah informasi itu dapat diakses dan dirasakan manfaatnya langsung oleh masyarakat. Pasti saja ada hal-hal yang perlu disempurnakan dalam implementasi di lapangan yang perlu menjadi pekerjaan rumah bersama dan segera diperbaiki dan ditingkatkan sarana yang akan menunjang fungsi dan kegunaan dari informasi tersebut.
Misalnya berdasarkan hasil diskusi dan pengamatan di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. Sejauh ini, kami menilai masih ada beberapa kekurangan terkait dengan ketersediaan pelayanan informasi yang berlaku di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. Atau bahkan, ini juga terjadi di beberapa Pengadilan / Mahkamah Syar’iyah lainnya. Oleh karena itu, sebagai solusi alternatif, perlu ada terobosan khusus dari apa yang sejauh ini sudah tersedia (baik sarana maupun sumber daya manusia). Misalnya, perlu ada penyegaran informasi secara berkala yang dimuat di dalam website resmi sebuah pengadilan. Atau juga perlu ada semacam sosialisasi terkait kemudahan untuk mengakses informasi bagi siapa saja yang ingin mengakses. Tentunya itu perlu dilakukan tanpa menyalahi pedoman-pedoman yang berlaku.
Dengan demikian dalam rangka melaksanakan sekaligus mewujudkan optimalisasi penerapan pelayanan informasi di Pengadilan yang sesuai dengan fungsi dan tujuannya yang bermuara kepada perwujudan keterbukaan informasi di masyarakat. Maka dari uraian tersebut di atas menarik bagi kami untuk membuat sebuah tulisan denga bentuk makalah dengan judul: EFEKTIVITAS PENERAPAN PELAYANAN KETERBUKAAN INFORMASI PUBLIK DI MAHKAMAH SYAR’IYAH BANDA ACEH.
II.PERMASALAHAN
Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka perumusan masalah yang dapat diajukan adalah:
- Bagaimanakah peran dan kedudukan media informasi di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh ?
- Bagaimana efektivitas penerapan pelayanan media informasi bagi masyarakat di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh?
III.PEMBAHASAN
- Pengertian Keterbukaan Informasi Publik
Informasi adalah keterangan, pernyataan, gagasan, dan tanda-tanda yang mengandung nilai, makna, dan pesan, baik data, fakta maupun penjelasannya yang dapat dilihat, didengar, dan dibaca yang disajikan dalam berbagai kemasan dan format sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi secara elektronik ataupun non elektronik yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu Pengadilan yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggaraan tugas dan fungsi pengadilan; baik yang berkaitan dengan penanganan perkara, maupun yang berkaitan dengan pengelolaan organisasi pengadilan. Sedangkan Informasi Publik adalah informasi yang dihasilkan disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh suatu badan publik yang berkaitan dengan penyelenggara dan penyelenggara negara dan/atau penyelenggara dan penyelenggara badan publik lainnya sesuai dengan Undang-undang serta informasi lain yang berkaitan dengan kepentingan publik.[2]
Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik di dalamnya memuat beberapa asas atau prinsip yang dinilai relevan dengan prinsip yang berlaku universal. Prinsip tersebut antara lain adalah: Pada dasarnya setiap informasi bersifat terbuka dan dapat diakses kecuali yang dibatasi oleh undang-undang (Maximum Access Limited Exemption).[3] Konstitusi negara ini bahkan sudah memasukkan hak atas informasi sebagai bagian dari hak asasi manusia, meski hak tersebut bersifat derogable, yakni hak yang bisa dikurangi dan dibatasi dengan syarat-syarat tertentu.[4] Hak asasi manusia sering dijadikan sebagai indikator untuk mengukur tingkat peradaban, demokrasi, dan kemajuan suatu bangsa. Salah satu rumusan HAM adalah pengakuan hak setiap orang untuk berkomunikasi dan mendapatkan informasi, sebagaimana dinyatakan dalam Pasal 28 F UUD 1945, yang berbunyi: “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengelola, dan menyampaikan informasi dengan menggunaka segala jenis saluran yang tersedia”.
Informasi sejatinya bisa diperoleh masyarakat luas dengan cepat, tepat waktu, murah, dan prosedur sederhana. Dalam memperoleh informasi yang dihar apkan oleh masyarakat, tentu juga harus ada prosedur yang jelas tentang tata cara memperoleh informasi tersebut. Dalam Undang-undang Keterbukaan Informasi Publik mengatur sebagian batas waktu yang dibutuhkan untuk memperoleh sebuha informasi sesuai dengan batas waktu yang ditentukan. Untuk mendapatkan sebuah informasi, masyarakat tidak ingin dipersulit dengan hal-hal yang bersipat rigid sehingga masyarakat menginginkan cara yang sederhana, mudah dalam hal prosedur dan mudah dipahami untuk mengakses informasi yang diminta. Tak hanya itu pemerintah maupun sebuah instansi tentu harus menetapkan standar biaya murah secara proporsional sesuai dengan yang berlaku pada umumnya untuk masyarakat. Dan yang paling penting adalah kerahasiaan informasi harus didasarkan pada aturan Undang-undang, kepatutan, kepentingan umum setelah melalui uji konsekuensi. Kepentingan yang lebih besar didahulukan.
Keterbukaan informasi yang efektif dan efisien sejauh ini tela menjadi bagian dari komitmen Mahkamah Agung beserta lembaga-lembaga maupun satuan kerja di bawahnya dalam rangka reformasi birokrasi, bahkan Mahkamah Agung telah lebih dahulu merealiasikan jauh sebelum Undang undang Keterbukaan Informasi Publik, sebagaimana dituangkan dalam Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: 144/KMA/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan. Lalu disempurnakana melalui Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : 1-144/KMA/SK/2011 terkait dengan pedoman pelayanan informasi yang sesuai tentang Pedoman Pelayanan Informasi di Pengadilan sebagai pengganti Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor : 144/KMA/VIII/2007 tentang Keterbukaan Informasi di Pengadilan.[5]
B.Informasi Publik di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh
Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan pada Meja Informasi di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh bahwa pelayanan informasi masih belum memenuhi standar yang direkomendasikan sesuai dengan peraturan yang berlaku. Salah satu contohnya, dalam hal pengajuan permohonan informasi yang memerlukan biaya, namun dalam pelaksanaannya tidak dilakukan dengan banyak pertimbanga. Meski demikian, dalam prosesnya tugas dan fungsi meja informasi tetap berjalan sebagaimana mestinya.
Tidak hanya itu, penyusun juga melakukan penelusuran yang dilakukan terhadap website resmi Mahkamah Syari'iyah Banda Aceh bahwa penggunaan sarana website dinilai optimal. Dalam website tersebut sudah tertera khusus kolom menu yang memuat sarana yang berkaitan dengan pelayanan informasi publik. Di dalam kolom menu itu setidaknya terdiri banyak opsi sub menu yang menjadi sarana untuk dapat diakses oleh masyarakat luas. Informasi yang dapat diakses tersebut di antaranya adalah pelayanan peradilan, informasi publik, biaya perkara, pengaduan, pengawasan, laporan, informasi, serta pengumuman berkaitan dengan perkara di Mahkamah Syar'iyah Banda Aceh.
Dalam hal pengajuan permohonan informasi, menurut SK KMA No: 1-144/KMA/SK/2011 bahwa berdasarkan kategorinya Prosedur Permohonan Informasi terbagi ke dalam dua yakni Prosedur Biasa dan Prosedur Khusus. Prosedur biasa digunakan dalam hal:
- Permohonan disampaikan secara tidak langsung, baik melalui surat atau media elektronik;
- Informasi yang diminta bervolume besar;
- Informasi yang diminta belum tersedia; atau
- Informasi yang diminta adalah informasi yang tidak secara tegas termasuk dalam kategori yang harus diumumkan atau informasi yang secara tegas dinyatakan sebagai informasi yang rahasia sehingga harus mendapat ijin dan diputuskan oleh Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID).
Sedangkan prosedur khusus digunakan dalam hal:
- Termasuk dalam kategori yang wajib diumumkan;
- Termasuk dalam kategori informasi yang dapat diakses publik dan sudah tercatat dalam Daftar Informasi Publik dan sudah tersedia
- Tidak bervolume besar (jumlahnya tidak banyak); dan/atau
- Perkiraan jumlah biaya pengadaan dan waktu yang dibutuhkan untuk pengadaan dapat dilakukan dengan mudah[6]
Di Mahkamah Banda Syar’iyah Aceh sendiri sebagaimana hasil observasi secara langsung, permohonan informasi cenderung didominasi oleh informasi yang berkategori khusus. Bahkan menurut petugas, sepanjang tahun 2018 belum ada masyarakat yang mengajukan permohonan informasi yang berkategori biasa. Kendati demikian, animo masyarakat untuk memohon informasi melalui pelayanan meja informasi yang menggunakan prosedur khusus tersebut cukuplah tinggi. Terhitung dari bulan Juli hingga November 2018 ada sekitar 308 permohonan informasi yang masuk dan telah ditunaikan oleh Petugas Informasi Mahkamah Syariyah Banda Aceh dengan rincian jumlah sebgai berikut: Juli sebanyak 73 permohonan, Agustus sebanyak 52 permohonan, September sebanyak 52 permohonan, Oktober sebanyak 74 permohonan dan November sebanyak 57 permohonan.
Implementasi Keterbukaan informasi publik dalam perjalanannya bukan tanpa masalah. Ada beberapa hal umum yang dihadapi antara lain, informasi publik tidak tersedia, terlambat diberikan, atau pelayanan informasi publik yang buruk.[7] Dalam konteks yang nyata, masalah ketersediaan informasi publik itu biasanya didapti ketika masyarakat mengakses informasi melalui website. Yang menjadi kendala tidak lain adanya lambat atau minimnya pembaharuan informasi yang dilakukan oleh pettugas di website satu lembaga atau instansi terkait.
C. Media Sosial Sebagai Sarana Informasi
Di era serba digital disertai menggeliatnya perkembangan teknologi yang semakin tak terbendung ini, setidaknya setiap instansi perlu menyesuaikan berbagai aspek pelayanan termasuk dalam hal informasi. Bagaimanapun di tengah tuntutan pelayanan yang prima, informasi tentu harus menjadi garda terdepan. Sejauh ini, tak sedikit lembaga pemerintahan yang menggunakan kecanggihan teknologi untuk mengembangkan pelayanan informasi. Salah satu platform teknologi yang kini digandrungi oleh sebagian besar instansi atau lembaga pemerintahan adalah media sosial (medsos) yang dapat diakses kapan dan dimana saja. Menurut Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) mengacu pada hasil riset Lembaga Riset Pasar e-Marketer, pengguna internet di Indonesia telah mencapai populasi 83,7 juta orang pada 2014 silam. Bahkan, e-Marketer memperkirakan netter Indonesia bakal terus melonjak hingga mencapai 112 juta orang pada tahun 2017-2018.[8]
Dengan jumlah itu, tentu merupakan sebuah peluang untuk menggunakan media sosial sebagai sarana mengembangkan layanan informasi tanpa terkecuali di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh. Apalagi, kecenderungan masyarakat hari ini melihat penggunaan internet tidak lagi sebatas kebutuhan sekunder melainkan kebutuhan primer untuk mempermudah pekerjaan maupun untuk memperoleh sebuah informasi. Oleh karenanya, sebagai sebuah terobosan, pemanfaatan media sosial tidak lagi boleh dianggap remeh. Mahkamah Syar’iyah, melalui petugas meja informasi dapat segera menjadikan berbagai platform media sosial sebagai alternatif sarana informasi. Tujuannya, tidak lain untuk penyampaian informasi bagi masyarakat, juga sebagai wadah resmi di mana masyarakat juga bisa memohon sekaligus mengakses sebuah informasi di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh.
Dengan digunakannya, media sosial sebagai sarana alternatif. Tinggal bagaimana kemudian petugas informasi mengemas informasi menjadi informasi publik. Dengan kekuatan teknologi seperti media sosial tersebut, setidaknya petugas meja in formasi juga tidak menutup kemungkinan bisa lebih cepat menyampaikan atau menyebarkan informasi-informasi secara efektif dan efisien demi terwujudnya good governance. Tidak hanya itu, sisi positif lainnya dengan adanya pemanfaatan media sosial, petugas informasi dapat merespons cepat permintaan informasi dari para pihak yang mencari keadilan di Mahkamah Syariyah Banda aceh. Untuk menopang terlaksananya hal ini juga perlu adanya manajemen pengelolaan yang terdiri dari Planning (Perencanaan), Organizing (Pengorganisasian), Actuating (Pelaksanaan) dan Controlling (Pengawasan). Sebagai implementasi dari pentingnya media sosial dalam menjawab kebutuhan informasi, Mahkamah Agung memiliki Akun Instagram resmi yang dinamai @pusdiklat.menpim.ma.
Berdasarkan penelusuran, dalam akun instagram tersebut banyak sekali memuat informasi seputar kegiatan-kegiatan warga peradilan seluruh Indonesia. Bahkan tak jarang, dalam akun tersebut juga memuat informasi terkait dengan adanya pendidikan formil maupun non formil yang diselenggarakan oleh pihak Pusat Pendidikan dan Pelatihan Mahkamah Agung Republik Indonesia. Tak hanya itu, Mahkamah Agung juga memiliki akun-akun media sosial lain seperti Twitter Official Mahkamah Agung dan Facebook Official Mahkamah Agung yang di dalamnya berisi informasi-informasi seputar kegiatan Mahkamah Agung.
Oleh karenanya, sebagai pihak atau petugas yang bekerja dalam bidang informasi tersebut, harus memperlakukan posisi itu sebagai kesempatan untuk mengembangkan organisasi secara keselurahan, dan bukan sebagai posisi ‘buntu’. Semua ini diperlukan bagi badan publik untuk memenuhi kewajibannya berdasarkan untuk mengembangkan ‘sistem pelayanan informasi yang cepat, tidak rumit dan adil’.[9] Dan hal ini salah satunya bisa dilakukan melalui alternatif media sosial.
IV. PENUTUP
- Kesimpulan
Dari hasil penelitian yang telah dilakukan ada beberapa hal yang dapat disimpulkan, antara lain adalah sebagai berikut:
- Meja informasi dan pengelola teknologi informasi memiliki peran besar untuk tersenggelaranya informasi yang efektif dan efisien bagi masyarakat umum maupun para pihak pencari keadilan. Sebagaimana hasil yang diperoleh dari observasi dan penelitian bahwa kedudukan media informasi di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh memiliki pengaruh yang cukup besar bagi terselenggaranya proses pencarian keadilan.
- Dalam pelaksanaannya penerapan pelayanan media informasi bagi masyarakat pencari keadilan di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh dinilai efektif mengingat dari setiap bulannya, kunjungan terhadap meja informasi terhitung stabil dan ini bisa terlihat langsung di website Mahkmahah Syar’iyah Banda Aceh.
- B.Saran
Untuk meningkatkan pelayanan informasi terhadap masyarakat, setidaknya ada beberapa hal yang perlu dikembangkan dan mulai diaplikasikan oleh petugas Meja Informasi Banda Aceh, yang di antaranya adalah sebagai berikut:
Petugas Meja Informasi perlu meningkatkan sosialisasi dan persuasi melalui beberapa sarana informasi yang sudah ada di Mahkamah Syar’iyah Banda Aceh misalnya; Papan Informasi, dan Website. Demi meningkatkan efektivitas pelayanan keterbukaan informasi publik, Petugas Meja Informasi perlu mengikuti perkembangan media sosial sebagai sarana layanan informasi. Misalnya; layanan interaksi melalui media sosial berupa facebook, twitter, atau instagram dengan pengelolaan yang berkelanjutan.
Daftar Pustaka
- I.Peraturan Perundang-undangan
Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Amandemen Keempat.
Indonesia, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi
Indonesia, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 61 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik
Indonesia, Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1-144/KMA/2011 Tentang Pedoman Pelayanan Informasi 01 Pengadilan
- II.Buku dan Lainnya
A. Sastro, Dhoho, dkk. Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, , Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Jakarta: 2010
https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/4286/Pengguna+Internet+Indonesia+Nomor+Enam+Dunia/0/sorotan_media diakses pada 7 Desember 2018
Jalil, Arifuddin, dkk. Potret Keterbukaan Informasi di Indonesia, CV. Deepublish Budi Utama, Yogyakarta, 2017
Erdianto, Kristian , dkk. Implementasi Hak Atas Informasi Publik, Centre for Law and Democracy, Yayasan Dua Puluh Delapan, Jakarta: 2012, Halaman 23.
[1] Indonesia, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
[2] Indonesia, Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi Publik
[3] Dhoho A. Sastro, DKK, Mengenal Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat, Jakarta:2010. Halaman 3
[4] Ibid, Halaman 7
[5] Dr. H. Ridwan Mansyur, Keterbukaan Informasi Di Pengadilan Pada Penerapan Sistem Penelusuran Alur Perkara, Diakses pada 7 Desember 2018.
[6] Indonesia, Surat Keputusan Ketua Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor: 1-144/KMA/2011 Tentang Pedoman Pelayanan Informasi 01 Pengadilan
[7] Arifuddin Jalil, dkk. Potret Keterbukaan Informasi di Indonesia , CV. Deepublish Budi Utama, Yogyakarta, 2017, Halaman 76
[8]https://kominfo.go.id/index.php/content/detail/4286/Pengguna+Internet+Indonesia+Nomor+Enam+Dunia/0/sorotan_media. Diakses Pada 7 Desember 2018
[9] Kristian Erdianto, DKK, Implementasi Hak Atas Informasi Publik, Centre for Law and Democracy, Yayasan Dua Puluh Delapan, Jakarta: 2012, Halaman 23.