Kemandirian dan Keyakinan Hakim pada Proses Peradilan sebagai Upaya Menjadi Hakim Ideal dan Profesional
Oleh:
Muhammad Ridho
A. PENDAHULUAN
Salah satu isu penting untuk menuju masa depan pembangunan hukum termasuk penegakan hukum di Indonesia adalah bagaimana melaksanakan kekuasaan kehakiman sesuai dengan tujuan UUD 1945 dan UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. Mewujudkan penegakan hukum di bidang kekuasaan kehakiman yang bebas, merdeka dan mandiri merupakan salah satu tujuan yang ingin dicapai dalam kerangka negara hukum dan demokrasi.[1]
Hakim secara etimologi berarti “orang yang memutuskan hukum”. Hakim merupakan unsur utama di dalam pengadilan. Bahkan ia “identik” dengan pengadilan itu sendiri. Kebebasan kekuasaan kehakiman seringkali diidentikkan dengan kebebasan hakim. Demikian halnya, keputusan pengadilan diidentikkan dengan keputusan hakim. Oleh karena itu, pencapaian penegakan hukum dan keadilan terletak pada kemampuan dan kearifan hakim dalam merumuskan keputusan yang mencerminkan keadilan.[2]
Hakim tidak boleh terpengaruh dengan keadaan di sekelilingnya atau tekanan dari siapa pun dalam mengeluarkan putusan. Hakim harus menjauhkan diri dari keadaan yang dapat memengaruhi mereka di dalam menegakkan keadilan, baik di dalam pengadilan ataupun di luar pengadilan.[3]
Hakim dalam menyelesaikan konflik yang dihadapkan kepadanya harus dapat menyelesaikan secara obyektif berdasarkan hukum yang berlaku, maka dalam proses pengambilan keputusan, para hakim harus mandiri dan bebas dari pengaruh pihak manapun, termasuk dari eksekutif. Dalam pengambilan keputusan, para hakim hanya terikat pada fakta-fakta yang relevan dan kaidah hukum yang menjadi atau dijadikan landasan hukum keputusannya. Tetapi penentuan fakta-fakta yang termasuk fakta-fakta yang relevan dan pilihan kaidah hukum yang mana yang akan dijadikan landasan untuk menyelesaikan kasus yang dihadapinya diputuskan oleh hakim yang bersangkutan sendiri.
Ada tiga tugas hakim ketika memeriksa perkara, yaitu 1) Mengkonstatir peristiwa hukum yang diajukan oleh para pihak, apakah peristiwa hukum yang diajukan itu benar-benar terjadi atau tidak. Hakim berupaya mengetahui dan meyakini apakah peristiwa hukum seperti yang telah diajukan tersebut benar adanya atau tidak. 2) Mengkualifisir peristiwa hukum yang diajukan pihak-pihak kepadanya. Maksudnya, hakim menilai peristiwa yang dianggap benar-benar terjadi itu memiliki hubungan hukum tertentu dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku. Hubungan hukum inilah yang dirijuki dan dijadikan dasar hukum dalam pengambilan keputusan. 3) Mengkonstituir, yaitu menetapkan hukumnya, atau memberikan putusan kepada para pihak yang berperkara.[4]
Tugas hakim dalam memeriksa suatu perkara dengan selalu berpedoman pada rujukan peraturan perundangan serta Kode etik profesi dan ditambah pula dengan upaya yang sungguh-sungguh untuk selalu menyalami perasaan hukum rasa keadilan masyarakat, diharapkan menjadi Hakim yang ideal. Yakni seorang Hakim yang tidak hanya menjadi corong Undang-undang, tetapi yang jauh lebih penting selaku corong hukum dan keadilan yang bermanfaat bagi masyarakat, dapat berwujud dan tidak hanya diangan-angankan belaka. Persyaratan mutlak atau conditio sine qua non dalam sebuah negara yang berdasarkan hukum adalah pengadilan yang mandiri, netral (tidak berpihak), kompeten dan berwibawa yang mampu menegakkan wibawa hukum, pengayoman hukum, kepastian hukum dan keadilan.[5]
Berdasarkan pemaparan-pemaparan diatas berkaitan dengan hakim yang tidak boleh terpengaruh baik dari faktor internal atau eksternal seorang hakim itu sendiri dan dihubungkan dengan tugas dan tanggung jawabnya yang sangat besar demi menjadi hakim yang ideal maka dengan alasan itu Penulis mengangkat ke dalam paper dengan Judul Kemandirian Dan Keyakinan Hakim Pada Proses Peradilan Sebagai Upaya Menjadi Hakim Ideal Dan Profesional.
B. PERMASALAHAN
Berdasarkan pemaparan di atas, maka dapat permasalahannya dapat dirumuskan sebagai berikut:
- Apa yang dimaksud dengan Kemandirian dan Keyakinan Hakim?
- Apa yang dimaksud dengan proses peradilan ?
- Apa yang dimaksud dengan hakim ideal dan profesional?
- Bagaimana kemandirian dan keyakinan hakim sebagai upaya menjadi hakim ideal dan profesional?
C. PEMBAHASAN
- Kemandirian dan Keyakinan Hakim
Kemandirian hakim sebagaimana pasal 3 ayat (1) UU No. 48 tahun 2009 menyebutkan, bahwa dalam rangka mewujudkan kekuasaan kehakiman yang merdeka, maka diwajibkan kepada hakim untuk selalu menjaga kemandirian peradilan dalam menjalankan tugas dan fungsinya. Berdasarkan penjelasan pasal 3 ayat (1) tersebut, yang dimaksud dengan kemandirian hakim adalah bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan baik fisik maupun psikis.[6]
Pada dasarnya kekuasaan kehakiman yang merdeka tersebut, dapat dibagi dua yaitu sebagai berikut:
2. Bebas dari campur tangan pihak kekuasaan ekstra yudisial
Dalam melaksanakan tugas dan fungsinya di peradilan hakim adalah bebas artinya hakim tidak berada di bawah pengaruh atau kekuasaan manapun. Jaminan kebebasan hakim ini dikuatkan dengan memberikan sanksi pidana bagi orang yang melanggar ketentuan tersebut. Sebagaimana ditentukan dalam pasal 3 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang kekuasaan kehakiman. Dalam melaksanakan kebebasan dari pihak ekstra yudisial ini, Mahkamah Agung telah mengeluarkan Surat Edaran Nomor 4 tahun 2002 tentang Pejabat Pengadilan yang Melaksanakan TugasYudisial Tidak Dapat Diperiksa Sebagai Saksi atau Tersangka kecuali yang Ditentukan Oleh Undang-undang.[7]
3. Bebas untuk melakukan tugas pokoknya
Tujuan dari kebebasan hakim dalam mengadili dan memutuskan perkara adalah agar pengadilan dapat meunaikan tugasnya dengan sebaik-baiknya sehingga dapat memberikan keputusan yang berdasarkan kebenaran, keadilan dan kejujuran. Pada penjelasan Pasal 1 UU Nomor 4 tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman dengan tegas dinyatakan bahwa kebebasan dalam melaksanakan wewenang yudisial bersifat tidak mutlak, karena tugas hakim adalah untuk menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan pancasila sehingga putusannya mencerminkan rasa keadilan rakyat Indonesia. Kebebasan hakim yang bersifat tidak mutlak tersebut dilakukan dengan kebebasan untuk menafsirkan hukum dan mencari dasar-dasar hukum serta asas-asas yang menjadi landasan dari setiap putusannya melalui perkara yang dihadapkan kepadanya sehingga keputusannya mencerminkan perasaan keadilan rakyat Indonesia.[8]
Sedangkan keyakinan hakim seperti pada perkara perdata sebagaimana menurut Pasal 1915 BW (KUH Perdata), persangkaan adalah kesimpulan-kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang terkenal ke arah suatu peristiwa yang tidak terkenal. Ada persangkaan berdasarkan undang-undang dan ada yang tidak berdasarkan undang-undang.
Keyakinan hakim dalam teori pembuktian biasa disebut dengan conviction intime. Pada teori pembuktian berdasar keyakinan hakim atas alasan yang logis (laconviction raisonnee) dijelaskan bahwa putusan hakim berdasarkan pada keyakinan sampai pada batas tertentu yang didukung argumentasi juridis yang jelas (laconviction raisonnee). Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Jadi, putusan hakim dijatukan dengan suatu motifasi. Sistim atau teori pembuktian ini disebut juga pembuktian bebas karena hakim bebas untuk menyebutkan alasan-alasan keyakinannya (frejebewijstheorie).[9] Sehingga dalam keyakinan hakim ada beberapa macam seperti hanya didasarkan atas konklusi keyakinan hakim itu sendiri dan ada konklusi yang didasarkan atas pada ketentuan undang-undang.
Berdasarkan kemandirian dan keyakinan hakim tersebut maka dapat dipahami bahwa peran hakim secara umum yaitu menegakkan kebenaran dan keadilan. Dimana seorang hakim dapat menegakkan kebenaran dan keadilan dengan yaitu dengan cara:
- Harus mampu menafsir Undang-undang secara aktual
Agar hukum yang diterapkan dilenturkan sesuai dengan kebutuhan perkembangan kondisi, waktu dan tempat, maka hukum yang diterapkan itu sesuai dengan kepentingan umum dan kemasalahatan masyarakat masa kini, namun demikian pada setiap kegiatan peran hakim menafsir dan menentukan undang-undang mesti tetap beranjak dari landasan cita-cita umum (common basic idie) yang terdapat dalam falsafah bangsa dan tujuan peraturan undang-undang yang bersangkutan.
2. Harus berani berperan menciptakan hukum baru atau sebagai pembentuk hukum
Hal ini dapat diwujudkan hakim dengan jalan menyelami kesadaran kehidupan masyarakat dan dari pengalaman tersebut hakim berusaha menemukan dasar-dasar atau asas-asas hukum baru, akan tetapi dalam hal inipun harus tetap beranjak dari common basic idie falsafah bangsa dan tujuan peraturan undang-undang yang bersangkutan.
3. Harus berani melakukan contra legem
Dalam hal ini hakim harus berani menyingkirkan ketentuan pasal undang-undang tertentu, dilakukan setelah hakim menguji dan mengkaji bahwa ketentuan pasal tersebut bertentangan dengan ketertiban, kepentingan dan kemasalahatan umum, maka dalam keadaan seperti ini kesampingkan pasal tersebut dan berbarengan dengan boleh mencipta hukum baru atau mempertahankan yurisprudensi yang sudah bersifat stare decesis.
4. Harus mampu berperan mengadili secara kasuistik
Pada prinsipnya setiap kasus mengandung particular reason, maka dalam kenyataan tidak ada perkara yang persis mirip, oleh karena itu hakim harus mampu berperan mengadili perkara case by case.
5. Akses menuju keadilan dalam sistem hukum perdata
Setiap orang mempunyai persamaan di hadapan hukum, sebagaimana dikemukakan dalam Pasal 27 UUD 1945, sebagai ide atau gagasan atau cita-cita hukum. Asas persamaan hak disebut juga sebagai asas “equality before the law”.
- Proses Peradilan
Proses adalah perubahan peristiwa dan lain-lain dalam perkembangan sesuatu perkara dalam pengadilan sedangkan Peradilan adalah sesuatu yang dilakukan oleh pihak-pihak yang berwenang, mengenai tugas negara dalam rangka menegakkan keadilan guna mencapai ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat yang berdasarkan pancasila dan UUD 1945. Sehingga dari pengertian tersebut dapat dipahami bahwa proses peradilan adalah tahapan suatu perkara yang dilaksanakan oleh pihak yang berwenang, mengenai tugas negara dalam rangka menegakkan keadilan guna mencapai ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat yang berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945.
Sedangkan tahapan proses peradilan khususnya perdata yaitu sebagai berikut:
- Pendaftaran dan Pengajuan gugatan;
- Persiapan sidang; Hakim menentukan hari sidang;
- Persidangan; Persidangan Perdata membahas identitas Para Pihak, penyerahan jawaban dan tanggapan dari kedua belah pihak, pembuktian, kesimpulan, dan keputusan hakim;
- Eksekusi; Pelaksanaan keputusan Hakim dilakukan setelah keputusan dan semua upaya hukum (Banding, Kasasi, PK) selesai[10]
- Hakim Ideal dan Profesional
Hakim ideal adalah hakim yang memiliki moralitas pribadi tinggi, tahu dan mampu membedakan perbuatan mana yang baik dan yang buruk, benar dan salah serta perbuatan yang adil dan tidak adil menurut sebagian besar masyarakat. Oleh karena itu pula, maka sang hakim tersebut berani dan mampu menegakkan misi suci lembaga peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan, meskipun aspek-aspek lainnya (seperti sistem politik, sistem hukum dan perundang-undangan) tidak memberikan dukungan yang berarti bahkan menghambat tugasnya. Selain itu ia pun sangat siap menerima segala konsekuensi yang timbul dari keputusan yang diambilnya.[11]
Hakim Profesional merupakan butir ke 10 dari Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH)[12] yang dimaknai sebagai suatu sikap moral yang dilandasi oleh tekad untuk melaksanakan pekerjaan yang dipilihnya dengan kesungguhan, yang didukung oleh keahlian atas dasar pengetahuan, keterampilan dan wawasan luas. Hakim yang profesional merupakan hakim yang dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara berdasarkan kepandaian dan keahliannya untuk dapat menegakkan hukum dan keadilan. Hukum dan keadilan dituangkan dalam sebuah putusan sebagai karya profesi hakim. Salah satu parameter yang menjadi tolok ukur seorang hakim profesional adalah dari karya profesi yang dibuatnya, yaitu putusan.
- Kemandirian dan Keyakinan Hakim Sebagai Upaya Menjadi Hakim Ideal dan Profesional
Hakim dalam mengaktualisasi ide keadilan memerlukan situasi yang kondusif, baik yang berasal dari faktor eksternal maupun internal dari dalam diri seorang Hakim. Jika ditelusuri, faktor-faktor yang mempengaruhi Hakim dalam mentransformasikan ide keadilan yaitu Jaminan Kebebasan Peradilan (Indepedency of Judiciary), kebebasan peradilan sudah menjadi keharusan bagi tegaknya negara hukum (rechstaat). Hakim akan mandiri dan tidak memihak dalam memutus sengketa, dan dalam situasi yang kondusif tersebut, Hakim akan leluasa untuk mentransformasikan ide-ide dalam pertimbangan-pertimbangan putusan.[13]
Sedangakan Keyakinan hakim dalam putusan hakim berdasarkan pada keyakinan sampai pada batas tertentu yang didukung argumentasi juridis yang jelas (laconviction raisonnee). Menurut teori ini hakim dapat memutuskan seseorang bersalah berdasarkan keyakinannya, keyakinan yang didasarkan kepada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan (conclusive) yang berlandaskan kepada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Sehingga berdasarkan kemandirian dan keyakinan hakim dalam memutus perkara dapat menegakkan kebenaran dan keadilan melalui berbagai cara seperti: mampu menafsir Undang-undang secara aktual, berani berperan menciptakan hukum baru atau sebagai pembentuk hukum, berani melakukan contra legem, mampu berperan mengadili secara kasuistik dan dapat memberikan akses menuju keadilan dalam sistem hukum perdata.
Adapun hakim ideal dan profesional titik tekannya adalah pada moralitas tinggi dan memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara berdasarkan kepandaian dan keahliannya untuk dapat menegakkan hukum dan keadilan. Sehingga berdasarkan paparan di atas maka kemandirian dan keyakinan hakim adalah modal yang sangat besar dan faktor pendukung utama yang menjadikan seorang hakim ideal dan profesional. Karena pada kemandirian dan keyakinan hakimlah sehingga ia dapat menegakkan kebenaran dan keadilan sesuai dengan tujuan hakim ideal dan profesinal.
D. PENUTUP
- Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan yang telah dipaparkan di atas, maka kesimpulannya yaitu sebagai berikut:
- Berdasarkan penjelasan pasal 3 ayat (1) 48 tahun 2009, yang dimaksud dengan kemandirian hakim adalah bebas dari campur tangan pihak luar dan bebas dari segala bentuk tekanan baik fisik maupun psikis sedangkan keyakinan hakim adalah hakim memutus suatu perkara dengan berdasarkan pada keyakinan sampai pada batas tertentu yang didukung argumentasi juridis yang jelas (laconviction raisonnee).
- Proses peradilan adalah tahapan suatu perkara yang dilaksanakan oleh pihak yang berwenang, mengenai tugas negara dalam rangka menegakkan keadilan guna mencapai ketertiban dan ketentraman dalam masyarakat yang berdasarkan kepada Pancasila dan UUD 1945.
- Hakim ideal yaitu hakim yang mempunyai moralitas tinggi sedangkan hakim profesional yaitu merupakan hakim yang dalam memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara berdasarkan kepandaian dan keahliannya untuk dapat menegakkan hukum dan keadilan.
- Kemandirian dan keyakinan hakim dalam memutus perkara dapat menegakkan kebenaran dan keadilan melalui berbagai cara seperti: mampu menafsir Undang-undang secara aktual, berani berperan menciptakan hukum baru atau sebagai pembentuk hukum, berani melakukan contra legem, mampu berperan mengadili secara kasuistik dan dapat memberikan akses menuju keadilan dalam sistem hukum perdata. Hal tersebut selaras dengan titik tekan hakim ideal dan profesional yaitu mempunyai dan dapat memutus suatu perkara berdasarkan kepandaian dan keahliannya untuk dapat menegakkan hukum dan keadilan.
- Saran
Berdasarkan pemaparan-pemaparan di atas serta mengingat Kemandirian dan Keyakinan Hakim adalah faktor pendukung utama menjadikan seseorang menjadi hakim yang ideal dan profesional maka hendaknya seorang hakim dalam memeriksa suatu perkara yang dihadapkan kepadanya hendaklah memutusnya berdasarkan antara lain yaitu: bebas dari intervensi manapun dan memutus berdasarkan fakta hukum di persidangan serta keyakinannya didasarkan pada argumentasi juridis yang jelas (laconviction raisonnee).
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim Talli, “Integritas Dan Sikap Aktif-Argumentatif Hakim Dalam Pemeriksaan Perkara” dalam Jurnal Al-Daulati, Vol. 3 , No. 1, Juni 2014.
Abdul Manan, Etika Hakim dalam Menyelenggarakan Peradilan: Suatu kajian dalam sistem Peradilan Islam, Jakarta: Prenada Media Group, 2007.
Cik Hasan Bisri, Peradilan Agama di Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996).
Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Hukum Pembuktian (Analisis terhadap kemandirian hakim sebagai penegak hukum dalam proses pembuktian), (Bandung: CV Nuansa Aulia, 2016,).
Fence M. Wantu, “Kendala Hakim dalam menciptakan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan di peradilan perdata”, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volumen 25, Nomor 2, Juni 2013.
Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) diatur berdasarkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009
Mompang L. Panggabean, “Mencari Sosok Hakim Indonesia yang Ideal” dalam Jurnal Hukum Prioris, Vol. 3, No. 2, tahun 2013.
Nani, “9 Proses Peradilan Pidana dan Perdata di Indonesia di unduh dari https://guruppkn.com/proses-peradilan-pidana-perdata-di-Indonesia
Nurlaila Harun, “Proses Peradilan Dan Arti Sebuah Keyakinan Hakim dalam Memutus Suatu Perkara Di Pengadilan Agama Manado” dalam Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah Vol. 15 No. 2 Tahun 2017.
[1] Fence M. Wantu, “Kendala Hakim dalam menciptakan kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan di peradilan perdata”, dalam Jurnal Mimbar Hukum, Volumen 25, Nomor 2, Juni 2013, halaman 206.
[2][2] Cik Hasan Bisri.Peradilan Agama di Indonesia, Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996.
[3] Abdul Manan, Etika Hakim dalam Menyelenggarakan Peradilan: Suatu kajian dalam sistem Peradilan Islam, Jakarta: Prenada Media Group, 2007, hal. 5
[4] Abdul Halim Talli, “Integritas Dan Sikap Aktif-Argumentatif Hakim Dalam Pemeriksaan Perkara” dalam Jurnal Al-Daulati, Vol. 3 , No. 1, Juni 2014, Hal. 2-3.
[5] Nurlaila Harun, “Proses Peradilan Dan Arti Sebuah Keyakinan Hakim dalam Memutus Suatu Perkara Di Pengadilan Agama Manado” dalam Jurnal Ilmiah Al-Syir’ah Vol. 15 No. 2 Tahun 2017, hal. 107
[6] Elisabeth Nurhaini Butarbutar, Hukum Pembuktian (Analisis terhadap kemandirian hakim sebagai penegak hukum dalam proses pembuktian), (Bandung: 2016, CV Nuansa Aulia), hal. 40
[7] Ibid., 41
[8] Ibid., hal. 41-42
[9] Nurlaila Harun, Proses Peradilan.... hal. 181
[10] Nani, “9 Proses Peradilan Pidana dan Perdata di Indonesia di unduh dari https://guruppkn.com/proses-peradilan-pidana-perdata-di-Indonesia
[11] Mompang L. Panggabean, “Mencari Sosok Hakim Indonesia yang Ideal” dalam Jurnal Hukum Prioris, Vol. 3, No. 2, tahun 2013, hal. 50
[12] Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) diatur berdasarkan Keputusan Bersama Ketua Mahkamah Agung RI dan Ketua Komisi Yudisial RI Nomor 047/KMA/SKB/IV/2009 dan 02/SKB/P.KY/IV/2009
[13] Nurlaila Harun, Proses Peradilan.... hal. 185